Baiklah tanpa berlama-lama sekarang mari kita simak biografi singkat dari Ibrahim bin Adham. Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Adham Mansur bin Yazid bin Djabir (Abu Ishak) al-Idjli. Dia dilahirkan di Balkh, Khurasan (daerah ini sekarang meliputi sebagian Iran, Afghanistan, dan Asia Tengah). OLEH HASANUL RIZQA Syekh Ibrahim bin Adham 718-782 merupakan seorang sufi yang berpengaruh besar dalam sejarah Islam. Tokoh yang berdarah Arab itu lahir di Khurasan, tepatnya Kota Balkh—kini bagian dari Afghanistan. Keluarganya menetap di wilayah tersebut setelah bermigrasi dari Kufah, Irak. Ibrahim bin Adham kerap dikisahkan sebagai seorang raja atau pangeran yang memilih zuhud. Walaupun nyaris tidak ada catatan sejarah yang pasti tentang hal itu, dapatlah dikatakan bahwa sosok tersebut memiliki kehidupan yang mapan di Balkh. Setelah bertobat, ia pun menjadi seorang pengembara untuk menjauhi hiruk-pikuk duniawi. N Hanif dalam bukunya, Biographical Encyclopaedia of Sufis of South Asia 1999, mengatakan, ada beragam riwayat tentang pertobatan sang mursyid. Salah satunya, sebagaimana dituturkan Fariduddin Attar dalam Tadzkiratul Auliya, menampilkan perjumpaan antara Ibrahim dan Nabi Khidir. Dalam narasi tersebut, sosok berjulukan Abu Ishaq itu diceritakan sebagai seorang raja Khurasan. Narasi lainnya dinukil dari Abu Bakr al-Kalabadhi dalam Kitab at-Ta’aruf. Pada suatu hari, Ibrahim mengajak prajuritnya untuk berburu di hutan. Aktivitas ini dilakukannya untuk senang-senang belaka, melepas penat dari rutinitas di istana. Tanpa disadarlnya, kuda tunggangan yang ia pacu sejak tadi telah jauh meninggalkan prajuritnya, ia terpisah dari mereka, jauh ke dalam hutan, menerobos rimbunnya pepohonan tembus ke satu padang rumput yang luas. Tanpa disadarinya, ia telah terpisah dari para pengawalnya. Seandainya kuda yang ditungganginya tidak jatuh tergelincir, barangkali Ibrahim akan tersasar lebih jauh lagi. Saat sedang berusaha bangkit, ia terkejut karena melihat seekor rusa tiba-tiba melintas di depannya. Ia pun dengan lekas menghela kudanya sembari mengarahkan tombak ke hewan tersebut. Sebelum melempar benda runcing itu, ia mendengar suara yang tertuju padanya, “Wahai Ibrahim! Bukan untuk itu kamu diciptakan. Bukan kepada hal itu pula kamu diperintahkan!” Awalnya, penguasa Balkh itu enggan mengacuhkannya. Pikirnya, mungkin suara itu hanya halusinasi. Begitu hendak meraih tombaknya, tiba-tiba suara yang sama terdengar lagi. “Wahai Ibrahim, bukan untuk itu kamu diciptakan dan bukan kepada hal itu pula kamu diperintahkan!” Ia pun menengok ke kiri dan kanan, tetapi tak seorang pun dilihatnya. “Aku berlindung kepada Allah dari godaan Iblis,” ucapnya. Ia pun memacu lagi kudanya. Akan tetapi, teguran yang sama lagi-lagi terdengar. Ibrahim pun menghentikan langkahnya, “Apakah ini sebuah peringatan dari-Mu, Tuhan?” katanya bergumam. Putra bangsawan ini pun merasa, petunjuk Ilahi telah menerangi hatinya. “Demi Allah, seandainya Dia tidak memberikan perlindungan kepadaku saat ini, pada hari-hari yang akan datang aku akan selalu berbuat durhaka kepada-Nya.” Sejak saat itu, lelaki dari Bani Bakar bin Wafil ini menekuni jalan salik. Segala kemewahan hidup ditinggalkannya. Oase hikmah Bagi para ahli tasawuf abad pertengahan hingga kontemporer, Syekh Ibrahim bin Adham bagaikan mata air. Dia termasuk yang paling awal mengamalkan dan mengajarkan laku sufi di tengah masyarakat. Di samping itu, konsistensinya dalam zuhud menjadi ciri khas tasawuf yang datang sesudahnya. Ada banyak kisah keteladanan ulama tersebut. Misalnya, yang disampaikan Muhammad bin Abu Bakar al-Ushfuri dalam kitabnya, Mawaizh Ushfuriyah. Suatu ketika, Syekh Ibrahim sedang duduk di sebuah tempat. Di sana, dia membuka bekal makanannya. Tanpa diduga, seekor burung gagak datang mengambil sedikit dari makanan tersebut. Lantas, hewan ini terbang menuju bukit. Karena penasaran, Ibrahim pun membuntuti burung tersebut. Dia segera membungkus makanannya, lalu menunggangi dan memacu kudanya. Dengan cepat, disusulnya hewan bersayap tadi. Akan tetapi, burung itu lebih cepat. Ibrahim pun tak lagi mengetahui ke mana hewan terbang itu mengarah. Karena jejak terakhir yang diingatnya ke arah bukit, ia memacu kudanya ke sana. Sampai di dataran tinggi itu, Ibrahim menemukan seseorang dalam kondisi terikat. Burung gagak itu ternyata ada di dekat orang tersebut. Paruhnya yang membawa makanan kemudian bergerak mendekati mulut orang malang ini. Sang burung lalu melepas makanannya. Mulut orang itu terbuka dan menelannya. Hal seperti itu terjadi dalam beberapa hari sejak pria tak dikenal itu terjerat. Pada hari keempat, Ibrahim mendekatinya, lalu membebaskannya. Lelaki itu bercerita, dirinya dalam kondisi demikian sejak disandera dan dibuang kawanan perampok. Dengan kuasa Allah, ia masih hidup dan tetap mendapatkan rezeki untuk makan melalui perantaraan burung gagak. Kisah di atas mengajarkan tentang Kemahakuasaan Allah dalam mengatur rezeki. Penghidupan setiap mahluk di jagat raya ini masing-masing telah dijamin oleh-Nya. Sungguh mustahil Sang Pencipta membiarkan makhluknya hidup tanpa rezeki. Sungguh mustahil Sang Pencipta membiarkan makhluknya hidup tanpa rezeki. Jangankan yang bebas bergerak, makhluk terikat yang geraknya terbatas, seperti yang ditemui Ibrahim bin Adham pun masih mendapatkan rezeki, tetap hidup dan mengagungkan asma Allah. Menyadari bahwa Allah telah mencukupkan rezeki tiap makhluk-Nya, itu tidak berarti seseorang dibenarkan berpangku tangan. Ibrahim bin Adham memberikan contoh tentang pentingnya ikhtiar. Walaupun hidup sederhana, dirinya tidak pernah mengemis atau meminta-minta kepada orang lain. Salik-pengembara ini tetap bekerja di daerah-daerah manapun yang disinggahinya. Di antara profesi yang pernah dijalaninya ialah buruh tani, tukang kebun, dan penjual kayu bakar. Dalam melakukan pekerjaan, Ibrahim selalu amanah. Tidak sekalipun dirinya berbuat curang. Sebab, kunci keberkahan rezeki ialah bekerja secara halal dan baik. Amanah dan warak Dalam Tadzkiratul Auliya, terdapat selayang pandang cerita yang tentang sifat amanah sang salik. Ibrahim bin Adham berkata, “Aku pernah menjadi seorang penjaga kebun. Pada suatu hari, sang pemilik kebun datang. Ia memintaku untuk mencarikan buah-buah delima yang masak. Aku pun mengambilkan untuknya sejumlah buah delima. Ternyata, buah-buahan itu rasanya masam. Maka, aku mencari lagi buah delima lainnya yang kupikir masak. Sekeranjang buah-buah ini kuberikan kepadanya. Rasanya masam juga. Majikanku berkata, Bagaimana kau ini? Sudah lama menjadi penjaga kebun, tetapi masih tak bisa juga membedakan antara delima yang masak dan masam?’ Kukatakan kepadanya, Aku ini penjaga kebun. Tugasku bukanlah memakan buah delima, apalagi mencicipi mana yang masam dan yang masak.’ Ia kemudian berkata, Dengan sikap amanah ini, engkau pasti Ibrahim bin Adham.’ Setelah itu, aku pergi meninggalkan kebun tersebut.” Aku ini penjaga kebun. Tugasku bukanlah memakan buah delima, apalagi mencicipi mana yang masam dan yang masak Kisah lainnya menggambarkan kecermatan Syekh Ibrahim dalam hidup. Ia selalu mengutamakan warak, yakni menjauhi perkara-perkara yang syubhat, apalagi yang haram. Apabila barang yang dimiliki atau dikonsumsinya belum jelas betul status kehalalannya, pantang baginya untuk menikmati barang tersebut. Pada akhir musim haji, sufi tersebut baru saja usai menunaikan rukun Islam kelima. Ia berniat melanjutkan rihlahnya ke Baitul Makdis. Ingin sekali berziarah dan beribadah di Masjid al-Aqsha. Sebelum bertolak ke Palestina, Ibrahim menyambangi sebuah pasar di pinggiran Makkah. Untuk bekal perjalanan, dirinya pun membeli sekeranjang kurma dari seorang pedagang tua di sana. Setelah kurma ditimbang dan dibungkus, Ibrahim melihat ada sebutir kurma yang tergeletak di bawah wadah timbangan. Disangkanya, sebutir kurma kecil itu adalah bagian dari buah-buahan yang dibelinya. Usai membayar, ia pun langsung berangkat menuju al-Aqsha. Sesudah menempuh perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan, akhirnya lelaki ini tiba di tujuan. Seperti biasa, dirinya memilih tempat ibadah di bawah atap Kubah Batu. Saat sedang berzikir, tiba-tiba ia mendengar suara percakapan dua malaikat dari arah atas. “Lihatlah, ini Ibrahim bin Adham, seorang ahli ibadah yang doa-doanya selalu dikabulkan Allah,” kata malaikat pertama. “Namun, kini tidak lagi. Doanya tertolak karena beberapa bulan lalu ia memakan sebutir kurma yang ditemukannya di dekat wadah timbangan seorang pedagang tua di Makkah,” timpal malaikat kedua. “Astaghfirullah al-azhim!” seru Ibrahim. Ia sangat terkejut, dan menyadari kesalahannya itu. Seketika, sufi ini bangkit dan bergegas pergi ke Makkah. Akhirnya, sampailah ia ke pasar yang dahulu dikunjunginya. Sayang, pedagang tua itu sudah meninggal dunia. Kini, yang menjaga toko buah tersebut adalah putranya. Setelah menjelaskan secara detail pokok persoalan, anak itu mengaku tidak mempermasalahkan buah yang telah dimakan Ibrahim. “Namun,” kata pemuda itu lagi, “Sesungguhnya, ayahku memiliki banyak anak. Jumlahnya 11 orang. Tidak hanya aku, tetapi ada juga saudara-saudaraku. Aku tidak berani mengatasnamakan mereka yang mempunyai hak waris yang sama denganku terkait dengan urusan Tuan ini.” Setelah meminta alamat mereka masing-masing, Ibrahim langsung pergi menemui para anak almarhum itu satu per satu. Walau jarak rumahnya berjauhan, selesai juga permohonan maaf Ibrahim. Mereka semua setuju untuk menghalalkan sebutir kurma milik ayah mereka dahulu yang termakan sang mursyid. Masyhur Hingga ke Nusantara Ada banyak kitab yang memuat kisah-kisah tentang Syekh Ibrahim bin Adham 718-782. Menurut N Hanif Biographical Encyclopaedia of Sufis of South Asia 1999, kebanyakan narasi itu tidak hanya tersebar di kawasan Arab atau Persia. Lebih lanjut, kaum Muslimin di India dan Indonesia pun menerima teks-teks tersebut. Hanif mengatakan, beberapa daerah kultural di Nusantara menjadi tempat persebaran cerita mengenai sang mursyid. Di antaranya ialah Sunda, Jawa, dan Bugis. Bagaimanapun, sambungnya, masyarakat masing-masing lokasi itu diduga mendapatkan narasi tentang Syekh Ibrahim dari orang-orang Persia, bukan Arab. Dan, kandungan kisahnya pun lebih banyak dibumbui hal-hal yang berbau rekaan. Salah satu manuskrip yang mengisahkan tentang tokoh ini ialah Hikayat Sultan Ibrahim bin Adham. Laman Perpustakaan Nasional RI mengungkapkan, kandungan naskah tersebut menceritakan sosok Sultan Ibrahim bin Adham, yakni “seorang raja Irak yang rela melepaskan takhta kerajaan karena ingin menjalankan ibadah kepada Tuhan secara khusyuk.” Teks hikayat ini dibuka dengan perkataan sebagai berikut. “Ini suatu hikayat ada seorang raja dari negeri Irak bernama Sultan Ibrahim bin Adham, wali Allah. Adapun terlalu besar kerajaannya baginda itu. Sahdan baginda itu sangat pertapa lagi masyhur serta dengan adil pemerintahnya lagi amat mengasih pada segala wazirnya dan hulubalangnya, dan kepada rakyatnya hina dena dan terlalu amat mengasih kepada segala ulama dan fakir dan miskin.” Secara keseluruhan, hikayat yang bertuliskan Arab-Melayu tersebut memuat moral dalam dua aspek sekaligus, yakni hubungan vertikal antara hamba dan Allah serta relasi horizontal antarsesama manusia. Aspek pertama meliputi persoalan-persoalan takwa dan mendahulukan perintah Allah, zuhud, ridha, serta pertobatan. Termasuk di dalamnya, kisah tentang perjuangan sang syekh untuk menghalalkan kurma yang terlanjur dimakannya. Adapun aspek kedua bertalian dengan sikap amanah dan pemimpin yang baik. Menurut Danang Susena dalam Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham Suntingan Teks dan Kajian Semiotika 2015, kehidupan spiritual Syekh Ibrahim interteks dengan keyakinan yang disebarkan oleh Syekh Hasan al-Bashri 642-728. Kedua tokoh itu sama-sama generasi tabiin. Belakangan, prinsip mereka diikuti pula antara lain oleh Imam Ghazali 1058-1111. Dan, sampai kini keyakinan itu masih hidup.

Berikutini adalah kisahnya. Munajat yang diyakini berasal dari Ibrahim bin Adham yang beredar di kalangan masyarakat Melayu. Sumber: dalam artikel-artikel sebelumnya kami telah menyampaikan kisah Ibrahim bin Adham menurut versi Farid al-Din Attar dalam Tadhkirat al-Awliya, yang mana berasal dari bahasa Persia.

– Ibrahim bin Adham adalah seorang tokoh sufi ternama, tergolong dalam kelompok tabi’in, meninggal dinegeri Syam pada tahun 161 H/778 M rahimahullah. dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi. DONASI SEKARANG Beliau adalah seorang waliyullah, berasal dari keluarga kerajaan wilayah khurasan. Berkelana ke pedalaman arab kemudian ke Mekkah al-Mukarramah, disana ia bertemu dengan Sufyan Tsauri dan Fudhail bin Iyadh kemudian bersahabat dengan mereka. Ibrahim bin Adham mengais rezeki dengan bekerja sebagai pengetam atau penuai, berkebun dan lainnya. Abu hanifah, tokoh ulama mujtahid terkenal adalah juga merupakan salah seorang sahabat Ibrahim bin Adham. Karomah Ibrahim bin Adham Berkata Imam Yafi’i rahimahullah Imam al-Qusyairi meriwayatkan dengan sanadnya, beliau bercerita pernah suatu ketika kami bersama sama dengan Ibrahim bin Adham berada di tepi laut. Kemudian kami berhenti di semak belukar yang banyak kayu-kayu kering, lalu kami berkata kepada Ibrahim “bagaimana bila malam ini kita berdiam di sini dan membakar beberapa kayu untuk perapian ?” Ibrahim bin Adham pun menjawab “boleh, lakukanlah!” Maka kami pun menetap di situ dan membakar beberapa kayu. Saat itu kami hanya membawa bekal beberapa potong roti. Disaat kami sedang menyantap roti, salah seorang dari kami berkata “alangkah bagusnya bara api ini bila ada daging yang bisa kita bakar dengannya untuk kita makan“, kemudian Ibrahim bin Adham berkata “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Kuasa atas memberi daging tersebut kepada kalian”. Sesaat setelahnya, tiba-tiba datanglah seekor singa membawa rusa jantan dimulutnya, singa tersebut lalu mendekati kami dan meletakkan rusa yang sudah lunglai lehernya itu dihadapan kami. Kemudian Ibrahim bin Adham berdiri dan berkata “sembelihlah rusa itu!, sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberi kalian makanan” Maka kami pun langsung menyembelihnya dan memanggang dagingnya, sedangkan si singa masih tetap diam disitu sembari melihat kearah kami. Muhammad bin Mubarak as-Shuwari berkata suatu hari aku sedang berada di jalan baitul maqdis bersama dengan Ibrahim bin Adham, ketika sampai di sebatang pohon delima kami memutuskan beristirahat di bawahnya, lantas kami menunaikan shalat sunnat dhuha disana. Kemudian sesaat setelah selesai shalat, aku mendengar suara yang keluar dari pohon tersebut, ia berkata “sungguh adalah suatu kemuliaan bagi kami jika saudara mencicipi apa yang ada pada kami”. Lalu Ibrahim bin Adham pun berkata kepadaku “wahai Muhammad, marilah kita penuhi permintaannya !”, kemudian Ibrahim mengambil dua buah delima dari pohon itu dan memberikan kepadaku salah satunya seraya berkata “wahai Muhammad, makanlah!”. Muhammad bin Mubarak melanjutkan ceritanya “beberapa hari kemudian aku kembali melewati pohon tersebut, alangkah terkejutnya aku ketika kulihat pohon itu tumbuh besar dan subur dengan begitu banyak buah yang dihasilkannya. Penduduk di daerah tersebut menamakan pohon itu dengan Syajaratul-abidin yang berarti pohon orang-orang ahli ibadah” Beberapa Kalam Hikmahnya Pokok segala ibadah adalah tafakkur dan diam, terkecuali diam dari berzikir kepada shaleh yang paling berat timbangannya kelak di yaumil mizan adalah amalan yang paling berat dirasa oleh yang paling dahsyat adalah jihad melawan hawa nafsu, barangsiapa yang mampu menahan hawa nafsunya maka ia sungguh telah beristirahat daripada dunia beserta balanya, dan adalah ia dilindungi lagi sejahtera daripada penyakit melakukan kebaikan yang hanya sesuai dengan kesukaannya, dan menjauh dari keburukan yang hanya ia benci saja, maka amal kebaikan tersebut tidak berpahala baginya dan tidak terselamatkan ia dari dosa keburukan yang ia tinggalkan ada tiga macam zuhud fardhu, zuhud salamah dan zuhud fadhal. Maka zuhud fardhu itu yakni zuhud pada yang haram, zuhud salamah adalah zuhud pada yang syubhat/samar-samar, dan zuhud fadhal adalah zuhud pada yang ada yang lebih dahsyat lagi berat terhadap iblis melainkan orang alim lagi halim/sabar, yang jika bicara, ia berbicara dengan ilmu dan jika diam maka ia diam dengan sabar. Hingga berkata iblis mengenainya “sungguh diamnya itu lebih membuat aku tertekan ketimbang bicaranya”.Menyedikitkankan rakus dan loba dapat mewarisi kejujuran dan kewara’an, sedangkan memperbanyak keduanya dapat mewarisi dukacita dan hati kalian dengan rasa takut terhadap Allah, sibukkan badan kalian dengan ketekunan pada menta’ati-Nya, wajah kalian dengan rasa malu kepada-Nya dan sibukkan lidah kalian dengan berzikir kepada-Nya. Dan tundukkanlah pandangan kalian daripada melihat segala yang diharamkan engkau dapat mengekalkan pandanganmu kepada cermin taubat, niscaya akan nyata bagimu aib kejelekan maksiat. Demikian sepintas lalu kisah mengenai Al-Arifbillah Syeikh Ibrahim bin Adham, karomah yang dimilikinya dan beberapa kalam hikmah yang muncul dari lisannya. Semoga dapat menjadi pelajaran yang berharga bagi kita ummat manusia. Wallahua’lambisshawab ! Author Recent Posts Alumni Ponpes Moderen Babun Najah Banda Aceh Santri di Dayah Raudhatul Hikmah Al-Waliyyah, Banda Aceh

Segalatindakannya berasal dari dan untuk Tuhan. Dalam bahasa agama disebut tawakkal. Imam Ibrahim bin Adham mendapatkan pelajaran berharga dari hamba sahaya itu. Pengetahuannya tentang menjadi hamba bertambah, bahwa seorang hamba harus menerima apa pun yang ditetapkan tuannya.

“Kuduga engkau membeli kemelaratanmu dengan gratis,” komentar Ibrahim melihat hal itu. “Wah,” si pengemis takjub. “Apakah kemelaratan bisa dibeli?” JERNIH— Abu Ishaq Ibrahim bin Adham lahir di Balkh dari keluarga bangsawan. Ibrahim adalah penerus keluarga tersebut, dan sempat mengenyam kekuasaan dan aneka kenikmatan dunia, sebelum kemudian ia bertobat dengan pertobatan yang total. Ibrajim kemudian memasuki dunia tasawuf dan menjadi seorang sufi terkemuka. Banyak cerita tentang dan dari Ibrahim bin Adham. Beberapa di antaranya kami tulis ulang di bawah ini. Suatu hari ada yang bertanya kepada Ibrahim bin Adham,” Apa yang terjadi kepadamu sehingga engkau meninggalkan kerajaanmu?” “Suatu hari aku duduk di singgasanaku,” jawab Ibrahim. “Ada cermin yang didirikan di hadapanku; aku menatap cermin itu dan melihat bahwa aku tinggal di dalam makam, tanpa seorang pun yang aku kenal. Aku melihat perjalanan panjang di hadapanku, dan aku tak sedikit pun memiliki perbekalan. Aku melihat hakim yang adil, tetapi aku tak memiliki hujjah dan pembelaan. Aku mulai muak dengan statusku sebagai raja.” “Mengapa engkau melarikan diri dari Khurasan?” tanya mereka. “Di sana banyak kudengar tentang sosok sahabat sejati,” jawab Ibrahim. “Mengapa engkau tak emngambil seorang istri?”tanya mereka. “Apakah ada perempuan yang mau menerima suami yang terus membuatnya lapar dan telanjang?” “Tidak,” jawab mereka. “Itulah sebabnya aku tidak menikah,” kata Ibrahim. “Perempuan yang kunikahi akan terus lapar dan telanjang tanpa pakaian. Seandainya bisa, aku akan menceraikan diriku sendiri. Bagaimana mungkin aku membebani orang lain?” Ibrahim berpaling kepada seorang pengemis yang ada saat itu, dan bertanya,” Apakah Engkau memiliki istri?” “Tidak,” jawab pengemis. “Punya anak?” “Tidak,” kembali dijawab pengemis. “Bagus…bagus,” kata Ibrahim. “Mengapa engkau menanyakannya?”tanya pengemis. “Pengemis yang menikah menaiki sebuah kapal. Ketika lahir anak, ia tenggelam.” *** Suatu hari Ibrahim melihat seorang pengemis meratapi nasibnya. “Kuduga engkau membeli kemelaratanmu dengan gratis,” komentar Ibrahim melihat hal itu. “Wah,” si pengemis takjub. “Apakah kemelaratan bisa dibeli?” “Tentu saja,” jawab Ibrahim. “Aku membelinya dengan kerajaan Balkh, dan aku dapat potongan harga.” *** Di dalam kitab “Hilyat al-Auliya” karya Abu Nu’aim, Said bin Harb bercerita, “Suatu ketika, Ibrahim bin Adham tiba di Makkah dan bertamu kepada Ali Abdul Aziz bin Abi Rawad. Syekh Ibrahim membawa kantong yang terbuat dari kulit Biyawak. Kantong itu ia gantungkan di sebuah gantungan. Lalu ia pergi untuk thawaf.” Pada saat bersamaan, Sufyan al-Tsauri, salah satu ulama perawi hadis juga sedang bertamu ke rumah Abdul Aziz. Syekh Sufyan melihat kantong milik Ibrahim bin Adham dengan pandangan heran. Ia bertanya kepada Abdul Aziz, “Kantong ini milik siapa?” “Kantong itu milik salah satu sahabatmu. Ibrahim bin Adham, Syekh.” Syekh Sufyan mendekati kantong lalu memegangnya. Ia penasaran dengan isinya. Ia terus melihat kantong itu dengan seksama lalu berkata, “Agaknya dalam kantong ini ada buah-buahan yang dibawa Ibrahim dari Syiria.” pikirnya. Syekh Sufyan bertambah penasaran dengan isi kantong itu. Dia pun menurunkan kantong dan membukanya. Ketika dibuka, dia kaget dan heran. Bagaimana tidak? Kantong yang dikiranya berisi buah-buahan itu ternyata isinya hanya tanah. Ya. Tanah. Entah untuk apa tanah itu. Maka Syekh Sufyan pun buru-buru menutup kantong lalu menggantungkannya lagi di tempat semula. Ketika Ibrahim bin Adham selesai thawaf dan kembali ke penginapan, Abdul Aziz menceritakan perbuatan Sufyan kepada Ibrahim. “Tadi temanmu, Syekh Sufyan ke sini. Dia penasaran pada isi kantongmu. Dia mengintip apa isi di dalamnya. Dia melihat isinya hanya tanah. Apa benar demikian, Syekh?” Ibrahim bin Adham menjawab, “Begitulah adanya.” “Untuk apa, Syekh?” Abdul Aziz ikut penasaran. “Itu adalah makananku sejak sebulan lalu.” Jawab Ibrahim. Abdul Aziz pun diam tak lagi bertanya. Di dalam riwayat lain, Abu Muawiyah al-Aswad bercerita, “Aku pernah melihat Ibrahim bin Adham memakan tanah selama 20 hari. Setelah itu, Ibrahim berkata kepadaku “Wahai Muawiyah, seandainya aku tidak takut jiwaku diketahui orang-orang, tentu aku hanya akan makan tanah sampai tutup usia ketika aku menemui Allah. Sehingga rezeki halal bagiku benar-benar bersih. Dari mana pun asalnya.” Ibrahim bin Adham makan tanah bukan berarti dia tak mampu mencari makanan lain yang lebih lezat. Dia tokoh yang ternama di zamannya. Dia bisa mendapatkan makanan yang lezat. Tapi mengapa Ibrahim sampai makan tanah? Di dalam kitab Hilyat al-Auliya disebutkan alasannya. Dia berbuat seperti itu semata-mata agar apa yang dimakannya benar-benar dari sesuatu yang halal. Sebab dalam ajaran Islam, setiap makanan yang mengandung unsur haram kelak bisa menyalakan api di dalam neraka. Api itu akan membakar orang yang makan barang haram. *** Selepas menunaikan ibadah haji, Ibrahim ingin melanjutkan perjalanannya ke Masjid al-Aqsha. Ketika di sebuah perjalanan ke Yerussalem, ia mampir ke pasar dekat Masjidil Haram untuk membeli kurma pada seorang pedagang tua untuk bekal di perjalanan. Kurma yang selesai ditimbang lalu dimasukkan di keranjang Ibrahim. Setelah dirasa semua kurma sudah masuk di keranjang, Ibrahim melihat satu kurma tercecer persis di bawah timbangan. Ia mengira satu biji itu bagian dari kurma yang ia beli. Segera ia pungut dan memakannya. Setelah melahap ia berangkat menuju Masjid al Aqsha. Selang empat bulan kemudian, Ibrahim bin Adham tiba di Masjid Al Aqsha. Ia memilih ruangan di bawah Kubah Sakhra sebagai tempat favorit beribadah. Ia salat, mendaras Alquran, bermunajat dengan khusyuk. Di sela-sela ketika ia beribadah, telinganya menangkap suara dua malaikat bercakap tentang dirinya. “Itu dia Ibrahim bin Adham, seorang ahli ibadah, zuhud, dan wara yang doanya selalu dikabulkan oleh Allah Swt,” ujar satu malaikat. “Tetapi sekarang tidak. Doanya tertolak. Sebab empat bulan yang lalu ia memakan sebutir kurma di meja seorang pedagang tua yang bukan haknya,” jawab malaikat yang lain. Mendengar bisikan itu, seketika Ibrahim terkejut dan terhenyak. Ia teringat empat bulan yang lalu sebelum berangkat menuju Yerussalem, ia mampir membeli sekilo kurma di pasar dekat Masjidil Haram. Merasa ada yang janggal di hati dan pikirannya, ia bangkit mengemasi barang-barangnya dan pergi kembali ke Mekah untuk mencari pedagang kurma dan meminta keikhlasan sebutir kurma. Sesampainya di Mekah, di tempat pedagang tua berjualan dulu, yang ditemui bukanlah orang tua yang dulu berjualan, melainkan seorang pemuda belia. Ibrahim yang sedang mengalami kemelut di hati itu pun bertanya. “Empat bulan yang lalu saya membeli kurma di sini kepada seorang pedagang tua. Sekarang di mana dia?” “Itu Bapak saya, Syeikh. Dia meninggal sebulan yang lalu,”kata pemuda tersebut. “Innalillahi Wainna ilaihi rooji’uun, saya turut berduka cita atas kematian Bapakmu wahai pemuda. Kalau begitu kepada siapa saya bisa meminta penghalalan?” Ibrahim kemudian menceritakan detail peristiwa yang dialaminya. Sedang anak muda mendengarkan dengan seksama. “Nah, begitulah. Engkau sebagai ahli waris orangtua itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur kumakan tanpa izinnya?” kata Ibrahim bin Adham setelah bercerita. “Bagi saya tidak masalah. Saya halalkan. Tapi saya masih memiliki saudara yang jumlahnya 11 orang yang mempunyai hak waris sama dengan saya,”ujar pemuda itu. Ibrahim yang berkeras mendapatkan rido atas sebutir kurma tersebut, meminta alamat masing-masing saudaranya. “Di mana alamat-alamat saudaramu, biar saya temui mereka satu persatu?”kata Ibrahim. Setelah menerima alamat, Ibrahim bin Adham kemudian pergi menemui mereka. Masing-masing didatangi, mengetuk pintu, dan ditemui tepat di depan rumah. Setelah seluruh keluarga itu telah menghalalkan sebutir kurma, Ibrahim pun lega. Dirasa semua permasalahan telah terselesaikan, Ibrahim kembali ke Masjid al Aqsha. Ia kembali menempuh empat bulan perjalanan ke Masjid Al-Aqsha. Sesampainya di sana, seperti biasa, ia memilih Kubah Sakhra sebagai tempat beribadah. Ia kembali bertakarub kepada Allah, dengan ritual salat, zikir, dan munajat. Tidak menunggu lama, di sela-sela ia berdoa, tetiba Ibrahim mendengar dua malaikat yang dulu sedang berdebat. “Itulah Ibrahim bin Adham yang doanya tertolak gara-gara makan sebutir kurma milik orang lain,” kata seorang malaikat. “Oh tidak, sekarang doanya sudah kembali makbul. Ia telah mendapat penghalalan dari ahli waris pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas,”kata malaikat yang satunya lagi. [dsy] Dari “Tadzkiratul Auliya”, Fariduddin Aththar, Penerbit Zaman, 2018 JERNIH Abu Ishaq Ibrahim bin Adham lahir di Balkh dari keluarga bangsawan. Ibrahim adalah penerus keluarga tersebut, dan sempat mengenyam kekuasaan dan aneka kenikmatan dunia, sebelum kemudian ia bertobat dengan pertobatan yang total. Ibrajim kemudian memasuki dunia tasawuf dan menjadi seorang sufi terkemuka.
JAKARTA - Selain ada beragam mazhab fikih dan pemikiran, di tengah masyarakat Islam juga muncul praktik tasawuf. Kata tasawuf berasal dari sejumlah kata. Sebut saja, misalnya, kata saff yang berarti barisan dalam shalat berjamaah. Ini merujuk pada seorang sufi atau pelaku tasawuf yang selalu memilih saf terdepan dalam shalat juga mempunyai iman kuat dan hati bersih. Kata lainnya adalah suffah, bermakna pelana yang digunakan para sahabat Nabi Muhammad yang miskin untuk bantal tidur di atas bangku batu di samping Masjid Nabawi, Madinah. Arti lain dari suffah ini adalah kamar yang disediakan para sahabat dari golongan Muhajirin yang miskin. Penghuni suffah disebut sebagai ahl as-suffah. Mereka mempunyai sifat teguh pendirian, takwa, zuhud, dan tekun beribadah. Peneliti tasawuf Abu al-Wafa’ al-Ganimi at-Taftazani melalui karyanya, Madkhal ila at-Tasawuf al-Islami Pengantar ke Tasawuf Islami, mengungkapkan mengenai karakteristik menilai, tasawuf mengandung lima ciri umum, yaitu memiliki nilai-nilai moral, pemenuhan fana dalam realitas mutlak, pengetahuan intuitif langsung, timbulnya rasa bahagia karena tercapainya tingkatan-tingkatan spiritual, dan penggunaan simbol-simbol untuk pengungkapan yang biasanya mengandung pengertian harfiah dan tersirat. Ensiklopedi Islam menjelaskan, benih-benih tasawuf sudah ada pada kehidupan Nabi Muhammad lewat perilaku dan peristiwa dalam hidup beliau. Sebelum diangkat menjadi rasul, selama berhari-hari beliau berkhalwat di Gua Hira, terutama saat Ramadhan, melakukan zikir dan bertafakur untuk mendekatkan diri kepada Allah diri Muhammad di Gua Hira ini menjadi acuan utama para sufi melakukan khalwat. Puncak kedekatan Rasul dengan Allah tercapai ketika melakukan perjalanan Isra dan Mi’raj. Ibadah beliau juga merupakan cikal bakal tasawuf. Dia adalah orang yang paling tekun dalam menjalani ibadah. Akhlak beliau pun menjadi acuan para lain yang menjadi rujukan para sufi adalah kehidupan empat sahabat Rasulullah, khususnya yang berhubungan dengan keteguhan iman, ketakwaan, kezuhudan, dan budi pekerti mereka. Apalagi para sahabat ini adalah murid langsung Rasulullah, yang meneladani dalam perilaku praktik sufi ini, juga ada proses bergulir yang juga merupakan respons atas kondisi sosial yang ada. Saat Bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan kekhalifahan Islam, banyak kalangan menilai sikap bermewah-mewahan telah meracuni umat Islam kala itu. Kemudian, ada yang meresponsnya dengan mempraktikkan hidup saat itu, hidup zuhud menyebar luas. Tokoh tabiin pertama yang menjalani hidup semacam itu adalah Sa’id bin Musayyab. Ia banyak memperoleh pendidika dari mertuanya, Abu Hurairah. Di Kota Basra, Irak, muncul nama Hasan al-Basri. Ia dikenal dengan kezuhudannya. Tokoh lainnya di Basra adalah Malik bin akhir abad ke-2 Hijriah, terjadi peralihan dari fenomena zuhud ke tasawuf mulai tampak. Pada masa ini juga, muncul analisis-analisis singkat tentang kesufian. Salah satu tokoh pada masa itu yang condong pada kajian tasawuf adalah Ibrahim bin Adham di Khurasan. Sosok lainnya, Fudail bin Iyad, asal Khurasan yang meninggal di kemudian hari, juga ada Rabiah al-Adawiyah. Pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriah, kajian-kajian soal tasawuf bermunculan. Ada dua kecenderungan yang lahir dari kajian tasawuf itu. Pertama, cenderung pada kajian bersifat akhlak yang berdasarkan Alquran dan kecenderungan lainnya adalah kajian tasawuf filsafat dan banyak berbaur dengan kajian filsafat metafisika. Pada abad ke-5 Hijriah, kajian tasawuf akhlak lebih dominan. Sufi penting yang muncul pada masa itu, di antaranya adalah Abu Qasim Abdul Karim abad ke-5 Hijriah, puncak perkembangan tasawuf pada abad selanjutnya, terutama pada abad ke-6 dan ke-7, berfokus pada Ibnu Arabi yang mengusung konsep Wahdatul Wujud. sumber Harian RepublikaBACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini
Beliauadalah seorang waliyullah, berasal dari keluarga kerajaan wilayah khurasan. Berkelana ke pedalaman arab kemudian ke Mekkah al-Mukarramah, disana ia bertemu dengan Sufyan Tsauri dan Fudhail bin 'Iyadh kemudian bersahabat dengan mereka. Ibrahim bin Adham mengais rezeki dengan bekerja sebagai pengetam atau penuai, berkebun dan lainnya.
loading...Lukisan Ibrahim bin Adham dikunjungi malaikat. Dibuat di Bengal, India Timur sekitar tahun 1790-1800, pelukis tidak diketahui. Foto/Ilustrasi KONON di negeri Irak memerintah seorang raja yang adil, Sultan Ibrahim bin Adham namanya. Dia memerintah dengan segala kasih sayang dan selalu memberikan karunia kepada hamba sahayanya yang berbuat oleh paham tasawuf yang dianutnya, dia lebih mengutamakan penyucian diri pada masalah duniawi yang pada pendapatnya bersifat tipuan dia meninggalkan istana dengan segala kemewahannya dan menyerahkan pemerintahan kepada Wazirul Alam, seorang wasir kepercayaannya. Dia pun masuk hutan dengan menyamar sebagai fakir dengan hanya membawa tongkat, pisau, kantung makanan, dan cincin menghabiskan waktunya untuk beribadah. Pada malam hari dia saIat, berzikir, dan bertahajud. Makanan dan minumannya diambil dari apa saja yang dapat diperolehnya di dalam hutan. Baca Juga Menembus ke IndonesiaKisah Ibrahim Adham ini menyebar tidak hanya sebatas dalam lingkup Persia. Ia bahkan jauh menembus hingga ke India dan Indonesia. N. Hanif, penulis buku Biographical Encyclopedia of Sufis in South Asia, memaparkan di Indonesia, Ibrahim Adham masuk ke tanah Jawa, Melayu, Sunda, dan Bugis. Meski demikian, N. Hanif menduga bahwa kisah Ibrahim yang masuk ke wilayah-wilayah tersebut datang melalui orang-orang Persia, bukan dari orang-orang Arab, dan isinya sudah tidak seperti sumber material yang asli, sudah banyak rekaan di dalamnya. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, dalam usaha mereka untuk melestarikan sastra Indonesia, pernah mengumpulkan hikayat-hikayat lama Melayu. Dan di antara kumpulan hikayat yang telah terkumpul tersebut, salah satunya ternyata adalah hikayat Sultan Ibrahim bin Adham. Meskipun dalam hikayat tersebut Ibrahim bin Adham disebut sebagai seorang “Sultan”, bukan “Raja”, namun jelas-jelas hikayat tersebut mengacu kepada orang yang sama, yaitu Ibrahim bin Adham. Baca Juga Kemungkinan hikayat ini masuk ke Indonesia ketika Dinasti Turki Ustmani sedang berkuasa. Meskipun Indonesia tidak berada di bawah daulah Turki Ustmani, namun dalam beberapa hal, minimal dari istilah-istilah yang dipakai, setidaknya Indonesia juga terpengaruh oleh tren yang sedang mengingat istilah “Sultan” dipopulerkan oleh Turki Ustmani, ketimbang menggunakan istilah “Raja”, orang-orang Indonesia lebih suka memakai kata “Sultan”, yang pada hakikatnya maknanya adalah sama saja. Sebagaimana dapat dilihat dari beberapa kerajaan di Indonesia atau Asia Tenggara, banyak raja yang lebih suka menggunakan gelar sultan ketimbang Indonesia sendiri, di masa modern mengakui, bahwa hikayat-hikayat Melayu tersebut sudah tidak seperti aslinya. Sebelum bangsa Melayu mengenal huruf yang berasal dari abjad bahasa Arab, sastra Melayu disebarluaskan dalam bentuk lisan, yaitu diceritakan oleh nenek atau ibu kepada anak cucunya pada saat-saat ada juga tukang cerita yang lazim dikenal dengan nama pawang atau peliput lara yang menyampaikan hikayat-hikayat tersebut pada saat masyarakat sedang melaksanakan acara-acara tertentu, seperti ketika sedang hajatan atau ketika sedang bersantai melepaskan penyebaran yang demikian itu membutuhkan kepandaian dan keterampilan pencerita membumbui ceritanya dengan berbagai cerita khayalan atau menyelip-nyelipkan jenis khayalan yang sesuai dengan selera para pelipur lara penuh dengan khayalan tersebut di antaranya mengenai kehidupan istana yang mewah, para dewa yang membantu manusia, para bidadari, serta cerita-cerita juga cerita tentang binatang yang mengandung ajaran budi pekerti. Ajaran itu diselipkan dalam pengkhayalan kehidupan binatang sebagai manusia. Kemudian ada cerita-cerita jenaka yang diisi dengan ajaran moral, yang terkandung dalam humor, sebagai ciri khas jenis cerita samping itu, terdapat juga cerita-cerita yang bernuansa Islam, seperti hikayat Isra Miraj Nabi Muhammad SAW, Anbiya, dan Khandak, meskipun di dalamnya sudah ditambah-tambahi dengan khayalan si masa itu, sastra Melayu dipandang sebagai alat ajar yang berfungsi untuk menanamkan nilai sosial dan religius. Oleh karena itu, hikayat-hikayat itu secara terus-menerus disampaikan kepada orang lain, dari generasi kepada generasi bangsa Melayu mengenal huruf, mulailah cerita-cerita itu dituliskan menjadi naskah. Naskah-naskah itu mengalami pengutipan berkali-kali. Dan dalam setiap pengutipan tersebut terjadilah kebebasan untuk mengubah, menambah, atau mengurangi bahannya sesuai dengan selera masing-masing kemudian yang dapat menjelaskan mengapa kisah Ibrahim bin Adham di tanah Melayu berbeda dengan sumber aslinya serta memiliki berbagai varian atau versi. Baca Juga mhy
Dibuatdi Bengal, India Timur sekitar tahun 1790-1800, pelukis tidak diketahui. (Foto/Ilustrasi : christies.com) KONON di negeri Irak memerintah seorang raja yang adil, Sultan Ibrahim bin Adham namanya. Dia memerintah dengan segala kasih sayang dan selalu memberikan karunia kepada hamba sahayanya yang berbuat jasa.

Makam Syeikh Ibrahim bin Adham - Ibrahim ibn Adham lahir di Balkh dengan nama Abu Ishak Ibrahim bin Adham pada tahun 168 Hijriah atau 782 Masehi. Ibrahim bin Adham merupakan seorang raja di Balkh yakni sebuah daerah tempat awal perkembangan ajaran Budha. Kisah Ibrahim bin Adham adalah satu kisah yang cukup menonjol di masa awal kesufian. Ibrahim bin Adham terlahir dari keluarga bangsawan Arab yang dalam sejarah sufi ia sangat dikenal karena meninggalkan kerajaannya dan memilih menjalani latihan pengendalian tubuh dan jiwa sama seperti yang dilakukan oleh Budha Sidharta. Dalam tradisi kesufian banyak menceritakan tentang tindakan keberanian, rendah hati, serta gaya hidupnya yang cukup bertolak belakang dengan kihidupannya semasa menjadi Raja Balkh. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu'yam, Ibrahim bin Adham menekankan akan pentingnya ketenangan dan meditasi dalam melakukan pelatihan pengendalian tubuh dan jiwa. Rumi dalam Mansawi yang ditulisnya mejelaskan secara detail bagaimana kehidupan dari Ibrahim bin Adham. Salah satu murid Ibrahim bin Adham yang terkenal adalah Shaqiq al-Balki. Kehidupan Ibrahim bin Adham Dalam tradisi muslim, keluarga Ibrahim bin Adham berasal dari Kufah, namun ia dilahirkan di Balkh bagian wilayah Afganistan sekarang. Beberapa penulis mencoba menelusuri silsilah Ibrahim bin Adham hingga ke Abdullah, saudara Ja'far al-Sadiq anak dari Muhammad al-Baqir, cucu Husain bin Ali, salah satu silsilah keluarga paling penting dalam sejarah Sufi, namun sebagian besar penulis percaya bahwa silsilahnya berasal dari Umar bin Khattab. Sejarah kehidupan Ibrahim bin Adham dicatat oleh penulis besar abad pertengahan yakni Ibnu Asakir dan Bukhari. Ibrahim bin Adham terlahir dalam lingkungan masyarakat Arab yang tinggal di Balkh. Ia tercatat sebagai raja daerah tersebut pada sekitar tahun 730 Masehi, namun ia meninggalkan tahtanya dan memilih menjalani kehidupannya sebagai seorang petapa. Hal ini dilakukan oleh Ibrahim bin Adham setelah mendapat teguran dari Tuhan melalui penampakan Khidir sebanyak dua kali. Setelah mendapat teguran tersebut, Ibrahim bin Adham lalu memutuskan turun dari thatanya dan memilih menjalani kehidupannya sebagai pertapa di Suriah. Cerita ini berbeda dengan versi Kitab Ushfuriyah Semenjak melepaskan jabatannya sebagai raja, Ibrahim pun berangkat ke Naishapur dan hidup di dalam gua selama sembilan tahun. Selama dalam gua ia pernah bertemu dengan ular yang sangat besar, kemudian Ibrahim berdo'a kepada sang pencipta "Ya Allah, Engkau telah mengirim makhluk ini dalam bentuk yang halus, tetapi sekarang terlihat bentuknya yang sebenarnya yang sangat mengerikan. Aku tak sanggup melihatnya". Kemudian sang ular pun bergerak dan bersujud di depan Ibrahim sebanyak tiga kali. Kisah Aibrahim bin Adham Setelah dari pertapaan tersebut Ibrahim berangkat ke Makkah, dalam perjalanan ia pun melalui banyak kejadian yang luar biasa. Pada saat dia berada di Dzatul Irq, Ibrahim bin Adham bertemu dengan tujuh puluh orang yang berjubah kain perca yang tergeletak dengan darah yang mengalir dari hidung dan telinga mereka. Setelah 14 tahun berkelana pada padang pasir akhirnya beliau sampai ke Makkah dan hidup sebagai tukang kayu. Setelah kepindahannya pada tahun 750 Masehi, Ibrahim bin Adham memutuskan menjalani hidup secara semi-nomaden, terkadang Ibrahim bin Adham berjalan sampai jauh ke Selatan hingga ke wilayah Gaza. Semasa menjalani kehidupannya tersebut, Ibrahim bin Adham sangat menghindari untuk mengemis. Ia memilih bekerja membanting tulang tanpa mengenal lelah untuk mendapatkan uang sebagai sumber pembiayaan hidupnya sehari-hari. Pekerjaan yang biasa dilakukan olehnya antara lain menggiling jagung atau hanya sekedar merawat kebun. Ibrahim bin Adham juga diperkirakan ikut begabung dengan militer di perbatasan wilayah Byzantium dan kebanyakan ahli memperkirakan kematiannya disebabkan oleh salah satu ekpedisi angkatan laut yang diikuti olehnya. Guru spritual pertama Ibrahim bin Adham adalah seorang pendeta Kristen bernama Simeon. Ibrahim bin Adham meriwayatkan dialognya dengan sang pendeta melalui tulisan-tulisannya. Berikut kutipan percakapan mereka "Aku mengunjungi penjaranya, dan bertanya Aku kepadanya, "Bapa Simeon, sudah berapa lama Bapa terkurung di dalam sini?" "Sudah tujuh puluh tahun Aku di sini", jawabnya. "Apa yang menjadi makananmu?" tanyaku lagi. "Ya Hanafi", jawabnya, "apa yang menyebabkanmu menanyakan hal ini?" "Aku hanya ingin tahu" jawabku. Lalu ia berkata, "semalam sebiji kacang." Aku bertanya lagi, "apa yang membuat hatimu berkata bahwa sebiji kacang sudah cukup bagimu?" Ia lalu menjawab, "Kacang-kacang tersebut datang setahun sekali dan menghiasi selku dan aku memakannya sebiji setiap hari, aku menghormati kacang tersebut. Pada saat jiwaku mulai lelah beribadah, Aku selalu mengingatkan diriku pada satu waktu, waktu yang digunakan oleh para pekerja selama setahun untuk dapat bertahan selama sejam saja. Apakah engkau, Ya Hanifa, melakukan pekerjaan terus menerus untuk memperoleh kemuliaan yang kekal?" Sama seperti hanya para sufi yang lain, makam Ibrahim bin Adham juga memiliki sujumlah makam yang ada di berbagai tempat. Menurut Ibnu Asakir, Ibrahim bin Adham dimakamkan di sebuah pulau di Bizantium, sementara sumber lain menyatakan makamnya ada di Tirus, di Baghdad, ada juga yang menyatakan bahwa makamnya ada di kota Nabi Luth. Pendapat lain juga mengatakan makam Ibrahim bin Adham terletak di dalam gua Yeremia di Yerusalem, dan pendapat terakhir menyatakan bahwa makam Ibrahim bin Adham terletak di kota Jablah sekitar pantai Suriah. Ibrahim bin Adham dalam Sejarah dan Karya Sastra Kisah kehidupan Ibrahim bin Adham, sang sufi, yang terkenal di zaman pertengahan bisa saja adalah sebuah cerita yang murni tengtang dirinya. Namun beberapa ahli meyakini bahwa kish hidupnya yang sederhana tersebut telah dibumbui dengan berbagai cerita fiksi sehingga membuat kisahnya menjadi lebih menarik. Kitab memorial para Sufi Persia yang ditulis oleh Attar menjadi salah satu kitab yang paling sering dijadikan rujukan dalam mengisahan perubahan sang Ibrahim bin Adham dari seorang Raja Balkh menjadi seorang petapa yang meninggalkan tahtanya. Cerita Ibrahim bin Adham yang tercatat dalam Memorial Persia tersebut tersebar hingga ke wilayah India dan Indonesia. Namun cerita tersebut semakin ditambai dengan cerita-cerita fiksi lainnya sehingga semakin menarik. [

\nibrahim bin adham adalah tokoh tasawuf yang berasal dari
KarenaIshaq tinggal di Palestina. Ketiga, Allah menyifati Nabi Ismail 'alaihissalâm dengan nabi yang penyabar (Al-Anbiya ayat 85), karena kesabaran menerima cobaan untuk disembelih. Allah juga menyifatinya sebagai nabi yang menepati janji (Maryam ayat 54), karena ia bersedia untuk disembelih dan membantu ayahnya, Nabi Ibrahim Ibrahim bin Adham dikenal sebagai sosok sufi yang zuhud — Nama Syekh Ibrahim bin Adham sangat tersohor. Bagi para ahli tasawuf Abad Pertengahan hingga kontemporer, Syekh Ibrahim bin Adham bagaikan mata air. Ia termasuk yang paling awal mengamal kan dan mengajarkan laku sufi di tengah masyarakat. Di samping itu, konsistensinya dalam zuhud menjadi ciri khas tasawuf yang datang sesudahnya. Syekh Ibrahim bin Adham 718-782merupakan seorang sufi yang berpengaruh besar dalam sejarah Islam. Tokoh yang berdarah Arab itu lahir di Khurasan, tepatnya Kota Balkh, kini bagian dari Afghanistan. Keluarganya menetap di wilayah tersebut setelah bermigrasi dari Kufah, Irak. Ada banyak kitab yang memuat kisah-kisah tentang Syekh Ibrahim bin Adham 718-782. Menurut N Hanif dalam Biographical Encyclopaedia of Sufis of South Asia 1999, kebanyakan narasi itu tidak hanya tersebar di kawasan Arab atau Persia. Lebih lanjut, kaum Muslimin di India dan Indonesia pun menerima teks-teks tersebut. Hanif mengatakan, beberapa daerah kultural di Nusantara menjadi tempat persebaran cerita mengenai sang mursyid. Di antaranya ialah Sunda, Jawa, dan sambungnya, masyarakat masing-masing lokasi itu didu ga mendapatkan narasi tentang Syekh Ibrahim dari orang-orang Persia, bu kan Arab. Dan, kandungan kisahnya pun lebih banyak dibumbui hal-hal yang berbau rekaan. Salah satu manuskrip yang mengisahkan tentang tokoh ini ialah Hikayat Sultan Ibrahim bin Adham. Laman Perpustakaan Nasional RI mengungkapkan, kandungan naskah tersebut menceritakan sosok Sultan Ibrahim bin Adham, yakni seorang raja Irak yang rela melepaskan takhta kerajaan karena ingin menjalankan ibadah kepada Tuhan secara khusyuk. Teks hikayat ini dibuka dengan perkataan sebagai berikut. "Ini suatu hikayat ada seorang raja dari negeri Irak bernama Sultan Ibrahim bin Adham, wali Allah. Adapun terlalu besar kerajaannya baginda itu. Sahdan baginda itu sangat pertapa lagi masyhur serta dengan adil pemerintahnya lagi amat mengasih pada segala wazirnya dan hulubalangnya, dan kepada rakyatnya hina dena dan terlalu amat mengasih kepada segala ulama dan fakir dan miskin." Secara keseluruhan, hikayat yang bertuliskan Arab-Melayu tersebut memuat moral dalam dua aspek sekaligus, yakni hubungan vertikal antara hamba dan Allah serta relasi horizontal antarsesama manusia. Aspek pertama meliputi persoalan-persoalan takwa dan mendahulukan perintah Allah, zuhud, ridha, serta pertobatan. Termasuk di dalamnya, kisah tentang perjuangan sang syekh untuk menghalalkan kurma yang terlanjur dimakannya. Adapun aspek kedua bertalian dengan sikap amanah dan pemimpin yang baik. Menurut Danang Susena dalam Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham Suntingan Teks dan Kajian Semiotika2015, kehidupan spiritual Syekh Ibrahim interteks dengan keyakinan yang disebarkan oleh Syekh Hasan al-Bashri 642-728. Kedua tokoh itu sama-sama generasi prinsip mereka diikuti pula antara lain oleh Imam Ghazali 1058- 1111. Dan, sampai kini keyakinan itu masih hidup. sumber Harian Republika Tokohtokoh Sufi abad pertama dan kedua hijriah. yang Pertama, adalah Hasan al-basri Nama lengkapnya al-Hasan bin Abi al-Hasan Abu Sa'id. Dia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 Hijriah/642 Masehi dan meninggal di Basrah pada tahun 110 Hijriah/728 Masehi. Ia adalah putra Zaid menjadi sekretaris Nabi Muhammad SAW. Ia memperoleh pendidikan di Basrah. - Sejarah tasawuf dapat ditelusuri dari awal perkembangan Islam pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, sebagian muslim memutuskan untuk hidup sederhana dan mengabdikan diri sepenuhnya pada Tuhan. Mereka mencari cara untuk mencapai pemahaman spiritual yang lebih dalam untuk mendekatkan diri kepada mengajarkan tentang pentingnya kesederhanaan, kejujuran, dan kebajikan. Beberapa di antaranya, seperti Hasan al-Basri dan Rabiah al-Adawiyah, dikenal sebagai tokoh-tokoh spiritual yang menginspirasi ajaran tasawuf. Pada abad ke-8, para sufi mulai muncul dan mengembangkan ajaran tasawuf secara lebih terstruktur. Mereka takarub mendekatkan diri kepada Allah dengan mengembangkan praktik-praktik spiritual seperti zikir dan puasa untuk membantu para pengikutnya mencapai kesadaran spiritual yang lebih dalam tentang Tuhan. Salah satu tokoh penting dalam sejarah awal tasawuf adalah Abu al-Hasan al-Syadzili, seorang sufi dari Mesir yang hidup pada abad ke-13. Ia dikenal sebagai pendiri Tarekat Syadziliyah, salah satu dari banyak tarekat kelompok sufi yang berkembang di seluruh dunia Islam. Tasawuf berkembang dengan pesat di Iran sejak abad ke-11, banyak tokoh sufi terkenal berasal dari negeri ini, seperti Jalaluddin Rumi dan Hafidz Asy-Syirazi. Tasawuf juga memiliki pengikut yang kuat di Mesir dengan lahirnya beberapa tokoh sufi terkenal seperti Imam Al-Ghazali dan Ibnu Arabi. Selain itu, tasawuf juga menyebar ke banyak negara seperti Pakistan, India, Turki, Indonesia, Malaysia, dan sejumlah negara di Afrika. Di Indonesia, beberapa tokoh tasawuf di antaranya adalah Syekh Syamsuddin As-Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniri, dan Syekh Abdurrauf As-Singkili. Meskipun tasawuf mengalami tantangan dan kontroversi selama sejarahnya, ajaran-ajarannya tetap menjadi bagian integral dari tradisi dan khazanah keilmuan yang terus memengaruhi banyak umat Islam hingga saat Tasawuf Penyebaran tasawuf mula-mula dilakukan para sufi dengan berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil di masjid dan di tempat-tempat lain untuk berzikir dan melakukan praktik-praktik spiritual lainnya. Seiring waktu, ajaran ini kian meluas melalui perjalanan para sufi yang bepergian ke luar negeri untuk menyebarluaskan ajaran Islam, atau para pedagang dan musafir yang membawa ajaran tasawuf ke berbagai tempat yang mereka kunjungi. Penyebaran tasawuf terutama terjadi pada abad ke-9 hingga abad ke-12 Masehi, ketika banyak kelompok sufi berkembang dan menyebar di seluruh dunia awalnya, misi penyebaran tasawuf dilakukan secara langsung melalui pertemuan-pertemuan dengan para murid dan penguasa di berbagai daerah. Para sufi datang ke suatu tempat untuk memberikan ceramah, membimbing umat Islam, dan memperkenalkan ajaran tasawuf kepada masyarakat abad ke-11, para sufi mulai membentuk kelompok-kelompok keagamaan yang lebih terstruktur, yang dikenal sebagai tariqah atau tarekat. Kelompok-kelompok ini memiliki aturan dan praktik-praktik yang khusus, dan dipimpin oleh seorang guru atau syekh yang dianggap memiliki pengalaman spiritual dan pengetahuan yang mendalam tentang ajaran tasawuf. Selain itu, penyebaran tasawuf juga terjadi melalui literatur. Banyak karya sastra dan puisi tasawuf yang ditulis oleh para sufi yang berisi ajaran-ajaran tentang kesempurnaan spiritual dan hubungan manusia dengan Tuhan. Karya-karya ini menjadi sumber pengajaran bagi banyak orang dalam mengembangkan pemahaman mereka tentang ajaran tasawuf. Diminati sebagai Gerakan Alternatif Seturut Azyumadi Azra dkk dalam Ensklopedi Tasawuf Jilid I A-H 2008, Islam memiliki dua dimensi, yakni dimensi lahir atau eksoterik yang mencakup syariat, seperti salat, puasa, zakat, dan berhaji. Satu lagi dimensi batin atau esoterik yang mencakup tasawuf. Kedua dimensi ini saling membutuhkan dan saling melengkapi. Tasawuf dianggap sebagai gerakan alternatif karena ajaran-ajarannya menekankan pada pengalaman spiritual individu terkait pengalaman langsung hubungan seseorang dengan itu, tasawuf juga mengajarkan pada kesederhanaan serta keterlibatan dalam bermasyarakat. Para sufi mengajarkan nilai-nilai seperti kebaikan, kasih sayang, dan toleransi, yang merupakan prinsip-prinsip yang sangat penting dalam agama Islam. Tasawuf juga menolak materialisme dan lebih fokus pada nilai-nilai spiritual yang lebih tinggi. Namun, seiring waktu, tasawuf juga mengalami perkembangan dan masuk ke dalam struktur keagamaan formal. Di beberapa negara, tasawuf terintegrasi dengan politik dan kekuasaan, yang menyebabkan pengaruhnya menjadi berbeda-beda di berbagai wilayah. Misalnya di Iran, sebagaimana ditulis Seyyed Hossein Nasr dalam Living Sufism 1970, persinggungan syiah dengan tasawuf secara simbolis berakhir setelah masa kepemimpinan Imam Ridha, imam syiah kedelapan. Kemudian ada juga pemikiran yang dilontarkan Muhammad Iqbal 1877-1938, filsuf dan penyair terkenal dari Pakistan. Ia memiliki pandangan yang khas mengenai tasawuf dan peran politik umat Islam. Iqbal percaya bahwa tasawuf adalah gerakan spiritual yang penting dalam Islam, karena tasawuf fokus pada peningkatan kualitas kehidupan spiritual individu dan masyarakat. Iqbal juga menganggap tasawuf sebagai salah satu cara untuk memperbaiki keadaan umat Islam yang seringkali terbelakang dan tertindas. Bagi Iqbal, tasawuf dan politik menjadi dua hal yang tak dapat dipisahkan. Tasawuf memberikan pemahaman tentang esensi agama Islam, sementara politik berperan dalam menjaga kekuatan dan keberlangsungan masyarakat Islam. Dalam konsep teo-demokrasi yang digagasnya, Iqbal menggabungkan unsur-unsur politik dan tasawuf. Ia percaya bahwa demokrasi adalah sistem politik yang paling cocok untuk menjaga nilai-nilai Islam, karena memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Namun demokrasi menurut Iqbal tidak dapat dilaksanakan secara sepihak tanpa mengacu pada nilai-nilai Islam yang mendasar. Oleh karena itu, dalam teo-demokrasi, kekuasaan politik dijalankan oleh para pemimpin yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang ajaran Islam. Tokoh-Tokoh Tasawuf Awal yang Paling Berpengaruh Tokoh-tokoh awal tasawuf memiliki peran penting dalam pengembangan tasawuf sebagai tradisi keilmuan Islam. Mereka membentuk karakteristik khas dari praktik-praktik dan pandangan-pandangan tasawuf yang dikenal sampai saat ini. Hasan Al-Basri 642-728 M, salah satu tokoh awal tasawuf dan dianggap sebagai tokoh sufi pertama. Dikutip dari laman NU Online, dia berguru kepada sahabat nabi, seperti Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abdullah bin Mughaffal, Amr bin Taghlib, Abu Burzah al-Aslami, dan masih banyak lagi. Pemikiran Hasan al-Bashri dalam bidang tasawuf sangat berpengaruh, khususnya dalam hal tawakal, zuhud, dan iktikad. Ia mengajarkan untuk selalu bertawakal kepada Allah dalam segala hal, tidak tergantung kepada dunia atau materi, serta selalu memperbaiki niat dalam segala al-Bashri juga menekankan pentingnya zuhud dan menjaga hati dari cinta kepada dunia, serta menyarankan untuk selalu memperbaiki hubungan dengan Allah dan merenungkan makna-makna kehidupan. Infografik Mozaik Perkembangan Awal Tasawuf. mata para sufi, Hasan Al-Bashri dikenal sebagai salah satu tokoh yang paling menonjol dalam memadukan antara ilmu dan amal, yaitu mengetahui dan mengamalkan agama dengan sebaik-baiknya. Ia mengajarkan bahwa ilmu tanpa amal tidak berarti dan amal tanpa ilmu adalah buta, sehingga penting untuk selalu menggabungkan keseharian, dia juga terkenal dengan sikap rendah hati dan penuh kasih sayang kepada sesama. Ia sering kali memberikan nasihat yang santun dan membantu orang-orang yang membutuhkan. Kesederhanaan dan keterbukaan hatinya membuat banyak orang terpikat dan merasa nyaman ketika berbicara dengannya. Tokoh lain yang memiliki pengaruh dalam perkembangan awal tasawuf ialah Junaid al-Baghdadi 830-910 M, salah satu tokoh sufi yang membentuk banyak konsep dan praktik tasawuf modern. Ia menekankan pada pentingnya pengetahuan dan kesederhanaan dalam praktik sufi, serta menolak praktik-praktik ekstrem yang bertentangan dengan ajaran Islam. Selanjutnya ada tokoh sufi fenomenal, yakni Abu Hamid al-Ghazali 1058-1111 M yang menulis banyak karya penting dalam tradisi tasawuf, termasuk karya monumentalnya Ihya Ulumuddin. Karya ini menjadi referensi utama dalam banyak tarekat dan ilmu tasawuf yang diajarkan di sekolah maupun pesantren-pesantren. Tak lengkap juga jika kita membicarakan tasawuf tanpa menyebut Jalaluddin Rumi 1207-1273 M, tokoh sufi sekaligus penyair terbesar dalam sejarah Persia. Dia memimpin sebuah tarekat sufi yang dikenal sebagai Tarekat Maulawi. Beberapa karyanya, terutama Mathnawi, sangat dihormati dan dihargai oleh banyak orang sebagai salah satu warisan sastra terbesar dalam sejarah. - Sosial Budaya Kontributor Ali ZaenalPenulis Ali ZaenalEditor Irfan Teguh Pribadi x2FL.
  • jiebude2ue.pages.dev/28
  • jiebude2ue.pages.dev/147
  • jiebude2ue.pages.dev/104
  • jiebude2ue.pages.dev/130
  • jiebude2ue.pages.dev/410
  • jiebude2ue.pages.dev/75
  • jiebude2ue.pages.dev/102
  • jiebude2ue.pages.dev/457
  • ibrahim bin adham adalah tokoh tasawuf yang berasal dari